Asal Usul Kerajaan Mughal
Mughal merupakan kerajaan Islam di anak benua India, dengan Delhi
sebagai ibukotanya, berdiri antara tahun (1526-1858 M). Dinasti Mughal di India
didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur (1482-1530 M), salah satu cucu dari
Timur Lenk dari etnis Mongol, keturunan Jengis Khan. Ekspansinya ke India dimulai dengan penundukan penguasa setempat
yaitu Ibrahim Lodi dengan Alam Khan (Paman Lodi) dan gubernur Lohere[1]. Ia berhasil munguasai Punjab dan
berhasil menundukkan Delhi, sejak saat itu ia memproklamirkan berdirinya
kerajaan Mughal. Proklamasi 1526 M yang dikumandangkan Babur mendapat tantangan
dari Rajput dan Rana Sanga didukung oleh para kepala suku India tengah dan umat
Islam setempat yang belum tunduk pada penguasa yang baru itu, sehingga ia harus
berhadapan langsung dengan dua kekuatan sekaligus. Tantangan tersebut dihadapi
Babur pada tanggal 16 Maret 1527 M di Khanus dekat Agra. Babur memperoleh
kemenangan dan Rajput jatuh ke dalam kekuasaannya.
Penguasa Mughal setelah Babur adalah Nashiruddin Humayun atau lebih dikenal dengan Humayun
(1530-1540 dan 1555-1556 M)[2], puteranya sendiri. Sepanjang
pemerintahanya tidak stabil, karna banyak terjadi perlawanan dari
musuh-musuhnya. Bahkan beliau sempat mengungsi ke Persia karna mengalami
kekalahan saat melawan pemberontakan Sher Khan di Qonuj, tetapi beliau berhasil
merebut kembali kekuasaanya pada tahun 1555 M berkat bantuan dari kerajaan
safawi. Namun setahun kemudian 1556 M beliau meninggal karna tertimpa tangga
pepustakaan, dan tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh putranya yang bernama
Akbar.
2.2
PERKEMBANGAN DAN KEJAYAAN KERAJAAN
MUGHAL
Masa
kejayaan kerajaan Mughal dimulai pada pemerintahan Akbar (1556-1506 M), dan
tiga raja penggantinya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M),
Aurangzeb (1658-1707 M). Setelah itu, kemajuaan kerajaan Mughal tidak dapat
dipertahankan oleh raja-raja berikutnya.
Akbar
mengganti ayahnya pada saat usia 14 tahun, sehingga urusan kerajaan diserahkan
kepada Bairam Khahan, seorang syi’i. Pada masa pemerintahanya, Akbar
melancarkan serangan untuk memerangi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher
Khan Shah yang berkuasa di Punjab. Pemberontakan lain dilakukan oleh Himu yang
menguasai Gwalior dan Agra. Pemberontakan tersebut disambut oleh Bairam Khan
sehingga terjadi peperangan dasyat, yang disebut panipat 2 tahun 1556 M. Himu
dapat dikalahkan dan ditangkap kemudian diekskusi. Dengan demikian, Agra dan
Kwalior dapat dikuasai penuh (Mahmudun Nasir,1981:265-266).
Setelah
Akbar dewasa, ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai
pengaruh kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran syi’ah. Bairam Khan
memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M.
Setelah
itu masa kejayaan kerajaan Mughal berhasil dipertahankan oleh putra beliau
yaitu Jehangir yang memerintah selama 23 tahun (1605-1628 M). Namun Jehangir
adalah penganut Ahlussunah Wal Jamaah, sehingga Din-i-Illahi yang dibentuk
ayahnya menjadi hilang pengaruhnya.[3]
Sepeninggalan
Jehangir pucuk kekuasaan kerajaan Mughal di pegang oleh Sheh Jehan yang
memerintah Mughal selam 30 tahun (1628-1658 M). Pada masa pemerintahanya banyak
muncul pemberontakan dan perselisihan dalam internal keluarga istana. Namun
semua itu dapat diatasi oleh beliau, bahkan beliau berhasil memperluas
kekuasaanya Hyderabat, Maratha, dan Kerajaan Hindu lain yang belum tunduk
kepada pemerintahan Mughal. Keberhasilan itu tidak bias lepas dari peran
Aurangzeb, putera ketiga dari Sheh Jehan.
Pengganti
Sheh Jehan yaitu Aurangzeb, beliau berhasil menduduki tahta kerajaan setelah
berhasil menyingkirkan para pesaingnya (saudaranya). Pada masanya kebesaran
Mughal mulai menggema kembali, dan kebesaran namanya-pun disejajarkan dengan
pendahulunya dulu, yaitu Akbar.
Adapun
usaha-usaha Aurangzeb dalam memajukan kerajaan Mughal diantaranya menghapuskan pajak, menurunkan bahan pangan dan memberantas
korupsi, kemudian ia membentuk peradilan yang berlaku di India yang
dinamakan fatwa alamgiri sampai akhirnya meninggal pada tahun 1707 M.
Selama satu setengah abad, India di bawah Dinasti Mughal menjadi salah satu
negara adikuasa. Ia menguasai perekonomian Dunia dengan jaringan pemasaran
barang-barangnya yang mencapai Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Cina.
Selain itu, India juga memiliki pertahanan militer yang tangguh yang sukar
ditaklukkan dan kebudayaan yang tinggi.[4]
Dengan besarnya nama kerajaan
Mughal, banyak sekali para sejarawan yang mengkaji tentang kerajaan ini. Dan
pada masa itu telah muncul seorang sejarawan yang bernama Abu Fadl dengan
karyanya Akhbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal
berdasarkan figure pemimpinnya. Sedangkan karya seni yang dapat dinikmati
sampai sekarang dan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah
karya-karya arsitektur yang indah dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Shah
jehan dibangun Masjid Berlapis mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi
dan Istana Indah di Lahore (Ikram, 1967:247).
2.3
KEMUNDURAN DAN RUNTUHNYA KERAJAAN MUGHAL
Setelah
satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut
Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh
sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa
kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat
pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah, Sikh di
belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam.
Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh
Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata
semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada
masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul,
tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan
Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah
ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang
ditinggalkannya.
Sepeninggal
Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb
yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul.[5] Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar
Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia menganut aliran Syi’ah. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan
pada perlawanan Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga dihadapkan
pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran
Syi’ah kepada mereka.[6]
Setelah
Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan
kekuasaan di kalangan istana. Bahadur Syah diganti oleh anaknya, Azimus Syah.
Akan tetapi, pemerintahannya oleh Zulfiqar Khan, putra Azad Khan, wazir
Aurangzeb. Azimus Syah meninggal tahun 1712 M an diganti oleh putranya,
Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri.
Jihandar Syah apat disingkirkan oleh Farukh Siyar tahun 1713 M.
Farukh
Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok sayyid, tapi tewas
di tangan para pendukungnya sendiri (1719 M). Sebagai gantinya diangkat
Muhammad Syah (1719-1748 M). Namun, ia dan pendukungnya terusir oleh suku
Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang sebelumnya telah berhasil melenyapkan
kekuasaan Safawi di Persia. Keinginan Nadir Syah untuk menundukkan kerajaan
Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini banyak sekali memberikan
bantual kepada pemberontak Afghan di daerah Persia. Oleh karena itu, ada tahun
1739 M, dua tahun setelah menguasai Persia, ia menyerang kerajaan Mughal.
Muhammad Syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah.
Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi setelah ia bersedia member hadiah yang
sangat banyak keada Nadir Syah. Kerajaan Mughal baru dapat melakukan restorasi
kembali, terutama setelah jabatan wazir dipegang Chin Qilich Khan yang bergelar
Nizam Al-Mulk (1722-732 M) karena mendapat dukungan dari Marathas. Akan tetapi,
tahun 1732 M, Nizam Al-Mulk meninggalkan Delhi menuju Hiderabat dan menetap di
sana.
Konflik-konflik
yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah.
Pemerintahan daerah satu per satu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah
pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing.
Hiderabat dikuasai Nizam Al-Mulk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput
menyelenggarakan pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Jai Singh dari Amber,
Punjab dikuasai oleh kelompok Sikh.
Adapun sebab-sebab keruntuhan Mughal
secara detail, yaitu :
1. Terjadinya stagnasi pembinaan militer sehingga operasi
militer Inggris di wilayah pantai tidak dapat dipantau.
2. Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik
yang mengakibatkan pemborosan dan penggunaan uang Negara.
3. Pendekatan Aurengzeb yang terkesan kasar dalam mendakwahkan
agama.
4.
Pewaris tahta pada paroh terakhir
adalah pribadi-pribadi lemah.
2.4
HASIL-HASIL KEBUDAYAAN KERAJAAN MUGHAL
A. Bidang Poitik dan Militer
Sistim yang menonjol adalah politik
Sulh-E-Kul atau toleransi universal. Sistem ini sangat tepat karena mayoritas
masyarakat India adalah Hindu sedangkan Mughal adalah Islam. Disisi lain
terdapat juga ras atau etnis lain yang juga terdapat di India. Lembaga yang
produk dari Sistim ini adalah Din-I-Ilahi dan Mansabhadari. Dibidang militer,
pasukan Mughal dikenal pasukan yang sangat kuat. Mereka terdiri dari pasukan
gajah berkuda dan meriam. Wilayahnya dibagi distrik-distrik. Setiap
distrik dikepalai oleh sipah salar dan sub distrik di kepalai oleh faudjar.
Dengan sistim ini pasukan Mughal berhasil menahlukan daerah-daera di
sekitarnya.
B. Bidang Ekonomi
Perekonomian
kerajaan Mughal tertumpu pada bidang agrari, mengingat keadaan Geografi dan
Geologi wilayah India. Hasil pertanian kerajaan Mughal yang terpenting ketika
itu adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah,
tembakau, kapas, nila, dan bahan-bahan celupan.[7]
Di samping untuk kebutuhan dalam
negeri, hasil pertanian itu diekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia
Tenggara bersamaan dengan hasil kerajinan, seperti pakaian tenun dan kain tipis
bahan gordiyn yang banyak diproduksi di Gujarat dan Bengawan. Untuk
meningkatkan produksi, Jehangir mengizinkan Inggris (1611 M) dan Belanda (1617
M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat.
C. Bidang Seni dan Arsitektur
Bersamaan
dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. Karya
seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang
berbahasa Persia maupun berbahasa India. Penyair India yang terkenal adalah
Malik Muhammad Jayazi, seorang sastrawan sufi yang menghasilkan karya besar
berjudul Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebijakan
jiwa manusia.[8]
Karya seni yang masih dapat
dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan
Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa
akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila, dan masjid-masjid yang
indah. Pada masa Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal
di Agra, masjid raya Delhi dan istana indah di Lahore.[9]
D. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dinasti
Mughal juga banyak memberikan sumbangan di bidang ilmu pengetahuan. Sejak
berdiri, banyak ilmuan yang datang ke India untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Bahkan Istana Mughal-pun menjadi pusat kegiatan kebudayaan. Hal ini adanya
dukungang dari penguasa dan bangsawan seta Ulama. Aurangzeb misalnya membelikan
sejumlah uang yang besar dan tanah untuk membangun sarana pendidikan.
Pada tiap-tiap masjid memiliki
lembaga tingkat dasar yang dikelola oleh seorang guru. Pada masa Shah Jahan
didirikan sebuah Perguruan Tinggi di Delhi. Jumlah ini semakin bertambah ketika
pemerintah di pegang oleh Aurangzeb. Dibidang ilmu agama berhasil
dikondifikasikan hukum islam yang dikenal dengan sebutan Fatawa-I-Alamgiri.
erajaan Safawi di Persia
A.
Perkembangan Kerajaan Safawi di Persia
Pada
waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan Safawi
di Persia masih baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang
dengan cepat. Nama Safawi ini terus di pertahankan sampai tarekat Safawiyah
menjadi suatu gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan
Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering berselisih dengan
kerajaan Turki Usmani (Yatim, 1998:138).
Kerajaan
Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya seperti
kerajaan Turki Usmani dan Mughal. Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut
Syi'ah dan dijadikan sebagai madzhab negara. Oleh karena itu, kerajaan Safawi
dianggap sebagai peletak dasar pertama terbentuknya negara Iran dewasa ini .
Kerajaan
Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di daerah Ardabil kota
Azerbaijan (Holt dkk, 1970:394). Tarekat ini bernama Safawiyah sesuai dengan
nama pendirinya Safi Al-Din, salah satu keturunan Imam Syi'ah yang keenam “Musa
al-Kazim”. Pada awalnya tarekat ini bertujuan memerangi orang-orang yang ingkar
dan pada akhirnya memerangi orang-orang ahli bid'ah (Hamka, 1981:79). Tarekat
ini menjadi semakin penting setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari
pengajian tasawuf murni yang bersifat local menjadi gerakan keagamaan yang
besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia.Dalam perkembangannya Bangsa
Safawi (tarekat Safawiyah) sangat fanatik terhadap ajaran-ajarannya. Hal ini
ditandai dengan kuatnya keinginan mereka untuk berkuasa karena dengan berkuasa
mereka dapat menjalankan ajaran agama yang telah mereka yakini (ajaran Syi'ah).
Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah menjadi tentara yang
teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab
selain Syiah.
Bermula
dari prajurit akhirnya mereka memasuki Dunia perpolitikan pada masa
kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan
menumbuhkan kegiatan politik di dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Perluasan
kegiatan ini menimbulkan konflik dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam),
salah satu suku bangsa Turki, yang akhirnya menyebabkan kelompok Juneid kalah
dan diasingkan kesuatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari
penguasa Diyar Bakr, AKKoyunlu, juga suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana
Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia (Holt, 1970:396).
Tahun
1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil tapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia
mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara
Sirwan dan ia terbunuh dalam pertempuran tersebut (Brockelman, 1974:494).
Penggantinya diserahkan kepada anaknya Haidar secara resmi pada tahun 1470 M,
lalu Haidar kawin dengan seorang cucu Uzun Hasan dan lahirlah Isma'il yang
kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia dan mengatakan bahwa
Syi'ahlah yang resmi dijadikan mazdhab kerajaan ini. Kerajaan inilah yang
dianggap sebagai peletak batu pertama negara Iran (Yatim, 2003:139-140).
Gerakan
Militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar di pandang sebagai rival politik oleh
AK Koyunlu setelah ia menang dari Kara Koyunlu (1476 M). Karena itu, ketika
Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, AK Koyunlu mengirimkan
bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan ia terbunuh
(Holt, 1970:396). Ali, putera dan pengganti Haidar, didesak bala tentaranya
untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Akan
tetapi Ya'kub pemimpin AK Koyunlu menangkap dan memenjarakan Ali bersama
saudaranya, Ibrahim, Ismail dan ibunya di Fars (1489-1493 M). Mereka dibebaskan
oleh Rustam, putera mahkota AK Koyunlu dengan syarat mau membantunya memerangi
saudara sepupunya. Setelah dapat dikalahkan, Ali bersaudara kembali ke Ardabil.
Namun, tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali
bersaudara dan Ali terbunuh (1494 M) (Holt, 1970:397).
Periode
selanjutnya, kepemimpinan gerakan Safawi di serahkan pada Ismail. Selama 5
tahun, Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan untuk menyiapkan pasukan
dan kekuatan. Pasukan yang di persiapkan itu diberi nama Qizilbash (baret
merah). Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash dibawah pimpinan Ismail
menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di sharur dekat Nakh Chivan.
Qizilbash terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota
AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya. Di kota Tabriz Ismail
memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga
Ismail I (Brockelmann, 1974:398). Ismail I berkuasa kurang lebih 23 tahun
antara 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya, Buktinya ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di
Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd
(1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M) Baghdad dan daerah Barat daya Persia (1508
M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan. Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah
kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fertile
Crescent) .
Bahkan
tidak sampai di situ saja, ambisi politik mendorongnya untuk terus
mengembangkan wilayah kekuasaan ke daerah-daerah lainnya seperti Turki Usmani.
Ismail berusaha merebut dan mengadakan ekspansi ke wilayah kerajaan Usmani
(1514 M), tetapi dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan malah Turki
Usmani yang di pimpin oleh sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi
terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan
di kalangan militer Turki di negerinya (Hassan, 1989:337).
Kekalahan
tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya dia
berubah, dia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu.
Keadaan itu berdampak negatif bagi kerajaan Safawi dan pada akhirnya terjadi
persaingan dalam merebut pengaruh untuk dapat memimpin kerajaan Safawi antara
pimpinan sukusuku Turki, pejabat keturunan Persia dan Qizibash (Yatim,
2003:142).
Rasa pemusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail I, peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada masa pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567M). Pada masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi mengalami kelemahan. Hal ini di karenakan sering terjadinya peperangan melawan kerajaan Usmani yang lebih kuat, juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari dalam kerajaan Safawi sendiri.
Rasa pemusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail I, peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada masa pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567M). Pada masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi mengalami kelemahan. Hal ini di karenakan sering terjadinya peperangan melawan kerajaan Usmani yang lebih kuat, juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari dalam kerajaan Safawi sendiri.
Berikut
urutan penguasa kerajaan Safawi :
1.
Isma'il I (1501-1524 M)
2.
Tahmasp I (1524-1576 M)
3.
Isma'il II (1576-1577 M)
4.
Muhammad Khudabanda (1577-1587 M)
5.
Abbas I (1587-1628 M)
6.
Safi Mirza (1628-1642 M)
7.
Abbas II (1642-1667 M)
8.
Sulaiman (1667-1694 M)
9.
Husein I (1694-1722 M)
10.
Tahmasp II (1722-1732 M)
11.
Abbas III (1732-1736 M)
B.
Masa Kejayaan Kerajaan Safawi
Kondisi
kerajaan Safawi yang memprihatinkan itu baru bisa diatasi setelah raja Safawi
kelima, Abbas I naik tahta (1588-1628 M). Langkah-langkah yang ditempuh oleh
Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi adalah:
1.
Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan
baru yang berasal dari budak-budak dan tawanan perang bangsa Georgia, Armenia
dan Sircassia.
2.
Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan jalan menyerahkan
wilayah Azerbaijan, Georgia, dan disamping itu Abbas berjanji tidak akan
menghina tiga Khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar dan Usman) dalam
khutbahkhutbah Jum'at. Sebagai jaminan atas syarat itu, Abbas menyerahkan
saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul (Borckelmann,
1974:503).
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan sekaligus berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaan yang pernah direbut oleh kerajaan lain seperti Tabriz, Sirwan dan sebagainya yang sebelumnya lepas direbut oleh kerajaan usmani.
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan sekaligus berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaan yang pernah direbut oleh kerajaan lain seperti Tabriz, Sirwan dan sebagainya yang sebelumnya lepas direbut oleh kerajaan usmani.
Kemajuan
yang di capai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik, melainkan
bidang lainnya juga mangalami kemajuan. Kemajuan-kemajaun itu antara lain :
1.
Bidang Ekonomi
Kemajuan
ekonomi pada masa itu bermula dengan penguasaan atas kepulauan Hurmuz dan
pelabuhan Gumrun yang diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan demikian Safawiyah
menguasai jalur perdagangan antara Barat dan Timur. Di samping sector
perdagangan, Safawiyah juga mengalami kemajuan dalam bidang pertanian, terutama
hasil pertanian dari daerah Bulan Sabit yang sangat subur (Fertille
Crescent).
2. Bidang Ilmu Pengatahuan
2. Bidang Ilmu Pengatahuan
Sepanjang
sejarah Islam Persia di kenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan
berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sejumlah ilmuan yang
selalu hadir di majlis istana yaitu Baha al-Dina al-Syaerazi, generalis ilmu
pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi, filosof, dan Muhammad al-Baqir Ibn
Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah pernah
mengadakan observasi tentang kehidupan lebah (Brockelmann, 1974:503-504).
3.
Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Kemajuan
bidang seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang
memperindah Isfahan sebagai ibu kota kerajaan ini. Sejumlah masjid, sekolah,
rumah sakit, jembatan yang memanjang diatas Zende Rud dan Istana Chihil Sutun.
Kota Isfahan juga diperindah dengan kebun wisata yang tertata apik. Ketika
Abbas I wafat, di Isfahan terdapat sejumlah 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan
dan 273 pemandian umum. Unsur lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan,
keramik, permadani dan benda seni lainnya.
C.
Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi
Sepeninggal
Abbas I, Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi
Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husein
(1694- 1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M) dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa
raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan
berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa
kepada kehancuran. Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab
kemunduran Safawi karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam terhadap
pembesar-pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu yang
akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuankemajuan yang telah diperoleh dalam
pemerintahan sebelumnya (Abbas I).
Kota
Qandahar lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal
yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut
oleh kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras
sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga
seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya.
Akibatnya rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah
Husein yang alim. Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi'ah yang
sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini
membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehinggamereka berontak dan
berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi (Hamka, 1981:71).Pemberontakan
bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir
Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di
Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti
oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil,
sehingga ia mampu merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi. Karena
desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir
Mahmud dan mengangkatnya menjadi gebernur di Qandahar dengan gelar Husei Quli
Khan (budak Husein). Dengan pengakuai ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak
sehingga tahun 1721 M, ia merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang
Isfahan dan memaksa Shah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober
1722 M Shah Husein menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan
dengan penuh kemenangan (Holt, 1970:426).
Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II di pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia (Holt, 1970:428-429).
Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II di pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia (Holt, 1970:428-429).
Adapun
sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi adalah:
1. Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi'ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini.
1. Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi'ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini.
2.
Terjadinya dekandensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaaan Safawi,
yang juga ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini. Raja Sulaiman yang
pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama tujuh tahun tidak pernah
sekalipun ssmenyempatkan diri menangani pemerintahan, begitu pula dengan sultan
Husein.
3. Pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti semangat Qizilbash . Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.
4. Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.
3. Pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti semangat Qizilbash . Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.
4. Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.
SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA KERAJAAN
TURKI USMANI
Bangsa Turki tercatat dalam sejarah
atas keberhasilannya mendirikan dua Dinasti, yaitu Dinasti Turki Saljuk dan
Turki Usmani. Kehancuran Dinasti Turki Saljuk oleh serangan bangsa Mongol
merupakan awal dari terbentuknya Dinasti Turki Usmani.
Anatolia sebelum masa orang-orang
utsmaniyah
Negeri Anatolia (asia kecil) dahulu
sebelum islam merupakan kerajaan yang berada dibawah kekuasaan Byzantium
(romawi timmur). Penaklukan-penaklukan oleh pasukan islam sampai di sebagian
wilayah timur negeri ini, dari ujung Armenia hingga ke puncak gunung
thurus sejak tahun 50 H, pada masa kekhalifahan muawiyah , kam muslim belum
mampu menaklukkan konstanttinopel, walaupun telah dilakukan berulang kali usaha
penyerangan.
Setelah perang maladzikr pada tahun
463 H yang dimenagkan oleh orang-orang saljuk dengan kemenangan yang gemilang
aas romawi, pengaruh kemenangan ini terus meluas ke negeri Anatolia. Mereka
saat itu telah memiliki pemerintahan yang terkemuka yaitu pemerintahan romawi
saljuk.
Anatolia kemudian jau ke tangan
Mongolia, setelah merebutnya dari saljuk romawi . maka terjadilah peperangan
antara Mongolia dank am muslimin dan ini terjadi pada tahun 641 H. setelah
kekalahan Mongolia pada perang ain jalut, tahun 658 H berangkatlah Zharir
Bibris ke saljuk Romawi dan Mongolia, menyusul kekalahan besar ini sebagai
pelajaran besar ini. Bersamaan dengan lemahnya Mongolia , pemerintahan
utsmaniyah lalu menguasainya pada masa yang berbeda. [1]
Orang-orang Utsmaniyah bernasab pada
kabilah qobi yang berasal dari kabilah Ghizz Turkmaniyah yang beragama islam
dari negeri Turkistan.Tatkala terjadi penyerbuan mongolia atas negeri itu,
kakek mereka (sulaiman) berhijrah ke negeri romawi, lalu ke syam dab ke
irak.
Dan mereka tenggelam di sungai
Eufrat.
Kabilah ini lalu terpecah-pecah.
Satu kelompok lalu kembali ke negeri asalnya. Dan satu kelompoknya bersama
dengan Erthoghul bin sulaiman.
Nama Kerajaan Usmani diambil dari
nama putra Erthogrul. Ia mempunyai seorang putra yang bernama Usman yang lahir
pada tahun 1258. Nama Usman inilah yang kemudian lahir istilah Kerajaan Turki
Usmani atau Kerajaan Usmani. Pendiri Kerajaan ini adalah bangsa Turki dari
Kabila Oghus. Yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina,
kemudian pindah ke Turkistan, lalu ke Persia dan Iraq sekitar abad ke-9 dan 10.
Pada abad ke-13 M, Erthoghul pergi
ke Anatolia. Wilayah itu berada dibawah kekuasaan Sultan Alaudin II (Salajikoh
Alaudin Kaiqobad). Erthoghul membantunya melawan serangan dari Byzantium.
Ertoghul menang dan mendapatkan sebagian wilayah (Asyki Syahr) dari Alaudin
dari Byzantium dan sebagian hartanyamereka melarikan diri ke wilayah Barat
sebagai akibat dari serangan Mongol. mereka mencari tempat perlindungan dari
Turki Saljuk di daratan Tinggi Asia Kecil. Di bawah pimpinan Ertugrul, mereka
mengabdikan diri pada Sultan Alauddin II, Sultan Saljuk yang berperang melawan
Bizantium. Atas jasa baiknya, Sultan Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di
Asia Kecil, yang berbatasan dengan Bizantium dan memilih Syukud sebagai Ibu
kotanya.
Ertugrul meninggal dunia pada tahun
1289 M. kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Usman
(1281-1324), atas persetujuan Alauddin. Pada tahun 1300, bangsa Mongol
Menyerang Kerajaan Saljuk, dan Dinasti ini terpecah-pecah dalam beberapa
Dinasti kecil. Dalam kondisi kehancuran Saljuk inilah, Usman mengklaim
Kemerdekaan secara penuh atas wilayah yang didudukinya, sekaligus
memproklamirkan berdirinya kerajaan Turki Usmani. Dengan demikian, secara tidak
langsung mereka mengakui Usman sebagai penguasa tertinggi dengan gelar “Padinsyah
Ali Usman”.
Setelah Usman mengakui dirinya
sebagai Raja Besar Keluarga Usman pada tahun 699 H/1300 M, secara bertahap ia
memperluas wilayahnya. Penyerangan awal dilakukan di sekitar daerah perbatasan
Bizantium dan Brussa (Broessa) dijadikan salah satu daerah yang menjadi objek
taklukan. Pada tahun 1317 M. wilayah tersebut dapat dikuasainya dan dijadikan
sebagai ibu kota pada tahun 1326 M.
Diakhir kehidupannya Usman menunjuk
Orchan (42) anak yang lebih muda dari kedua orang putranya sebagai calon pengganti
memimpin kerajaan. Keputusan tersebut disandarkan pada pertimbangan kemampuan
dan bakat anaknya masing-masing. Orchan sebagai prajurit yang potensial
telah mendapat pengawasan dari ayahnya dan telah menunjukkan kemampuannya dalam
konteks militer pada penaklukkan Brossa. Sementara Alauddin (kakaknya) lebih
potensial dalam bidang agama dan hukum. Meskipun mereka sama-sama dibina
dan dididik oleh ayahnya. Sasaran Orchan setelah penobatannya menjadi raja
ialah penaklukkan kota Yunani seperti Nicea dan Nicomania. Nicea menyerah pada
tahun 1327 dan Nocomedia takluk pada tahun 1338 M.
RAJA-RAJA TURKI USMANI
Dalam masa kurang lebih 6 abad
(1294-1924), berkuasa, kerajaan turki usmani mempunyai raja sebanyak 40 orang
yang silih berganti, namun demikian, dalam makalah ini akan kami bahas beberapa
raja yang berpengaruh saja, diantaranya:
Sultan Ustman bin Urtoghal (699-726
H/ 1294-1326 M)
Pada tahun 699 H usman melakukan
perlusan kekuasaannya sampai ke Romawi Bizantium setelah ia mengalahkan
Alauddin Saljuk. Usman diberi gelar sebagai Padisyah Al-Usman (Raja besar
keluarga usman), gelar inilah yang dijuliki sebagi Daulah Usmaniyyah. Usman
berusaha memperkuat tentara dan memajukan negrinya. kepada raja-raja kecil
dibuat suatu peraturan untuk memilih salah satu dari tiga hal, yaitu:
1) Masuk Islam
2) Membayar Jizyah; atau
3) Berperang
Penerapan sistem ini membawa hasil
yang menggembirakan, yaitu banyak raja-raja kecil yang tunduk kepada Usman.
Sultan Urkhan bin Utsman (726-761 H/
1326-1359 M)
Sultan Urkhan adalah putera Utsman
I. sebelum urkhan ditetapkan menjadi raja, ia telah banyak membantu perjuangan
ayahnya. Dia telah menjadikan Brousse sebagai ibu kota kerajaannya.
Pada masa pemerintahannya, dia
berhsil mengalahkan dan menguasai sejumlah kota di selat Dardanil. Tentara baru
yang dibentuk oleh Urkhan I diberi nama Inkisyaiah. Pasukan ini dilengkapi
dengan persenjataan dan pakaian seragam. Di zaman inilah pertama kali
dipergunakan senjata meriam.
Sultan Murad I bin Urkhan (761-791
H/ 1359-1389 M)
Pengganti sultan Urkhan adalah
Sultan Murad I. selain memantapkan keamanan di dalam negrinya, sultan juga
meneruskan perjuangan dan menaklukkan bebrapa daerah ke benua Eropa. Ia
menaklukkan Adrianopel, yang kemudian dijadikan sebagai ibukota kerajaan yang baru
serta membentuk pasukan berkuda (Kaveleri). Perjuangannya terus dilanjutkan
dengan menaklukkan Macedonia, Shopia ibukota Bulgaria, dan seluruh wilayah
bagian utara Yunani.
Karena banyaknya kota-kota yang
ditaklukkan oleh Murad I, pada waktu itu bangsa Eropa mulai cemas. Akhirnya
raja-raja Kristen Balkan meminta bantuan Paus Urban II untuk mengusir kaum
muslimin dari daratan Eropa. Maka peperangan antara pasukan Islam dan Kristen
Eropa pada tahun 765 H (1362 M). Peperangan itu dimenangkan oleh pasukan Murad
I, sehingga Balkan jatuh ke tangan umat Islam. Selanjutnya pasukan Murad I
merayap terus menguasai Eropa Timur seperti Somakov, Sopia Monatsir, dan
Saloniki.
Sultan Bayazid I bin Murad ( 791-805
H/ 1389-1403 M)
Bayazid adalah putra Murad I. Ia
meneruskan perjuangan ayahnya dengan memperluas wilayahnya seperti Eiden,
Sharukan, dan Mutasya di Asia Kecil dan Negri-negri bekas kekuasaan Bani
saluki. Bayazid sangat besar pengaruhnya, sehingga mencemaskan Paus. Kemudian
Paus Bonifacius mengadakan penyerangan terhadap pasukan Bayazid, dan peperangan
inilah yang merupakan cikal bakal terjadinya Perang Salib.
Tentara Salib ketika itu terdiri
dari berbagai bangsa, namun dapat dilumpuhkan oleh pasukan Bayazid. Namun pada
peperangan berikutnya ketika melawan Timur Lenk di Ankara, Bayazid dapat
ditaklukkan, sehingga mengalami kekalahan dan ketika itu Bayazid bersama
putranya Musa tertawan dan wafat dalam tahanan Timur Lenk pada tahun 1403 M.
Kekalahan Bayazid di Ankara itu membawa
akibat buruk bagi Turki Usmani, sehingga penguasa-penguasa Saljuk di Asia Kecil
satu persatu melepaskan diri dari genggaman Turki Usmani. Hal ini berlangsung
sampai pengganti Bayazid muncul.
Sultan Muhammad I bin Bayazid
(816-824 H/ 1403-1421 M)
Kekalahan Bayazid membawa akibat
buruk terhadap penguasa-penguasa Islam yang semula berada di bawah kekuasaan
Turki Usmani, sebab satu sama lain berebutan, seperti wilayah Serbia, dan
Bulgeria melepaskan diri dari Turki Usmani. Suasana buruk ini baru berakhir
setelah Sultan Muhammad I putra Bayazid dapat mengatasinya. Sultan Muhammad I
berusaha keras menyatukan kembali negaranya yang telah bercerai berai itu
kepada keadaan semula.
Berkat usahanya yang tidak mengenal
lelah, Sultan Muhammad I dapat mengangkat citra Turki Usmani sehingga dapat
bangkit kembali, yaitu dengan menyusun pemerintahan, memperkuat tentara dan
memperbaiki kehidupan masyarakat. Akan tetapi saat rakyat sedang m,engharapkan
kepemimpinannya yang penuh kebijaksaan itu, pada tahun 824 H (1421 M)
Sultan Muhammad I meninggal.
Sultan Murad II bin Muhammad (
824-855 H/ 1421-1451 M)
Sepeninggalannya Sultan Muhammad I,
pemerintahan diambil alih oleh Sulatan Murad II. Cita-citanya adalah
melanjutkan usaha perjuangan Muhammad I. Perjuangan yang dilaksanakannya adalah
untuk menguasai kembali daerah-daerah yang terlepas dari kerajaan Turki Usmani
sebelumnya. Daerah pertama yang dikuasainya adalah Asia Kecil, Salonika
Albania, Falokh, dan Hongaria.
Setelah bertambahnya beberapa daerah
yang dapat dikuasai tentara Islam, Paus Egenius VI kembali menyerukan Perang
Salib. Tentara Sultan Murad II menderita kekalahan dalam perang salib itu. Akan
tetapi dengan bantuan putranya yang bernama Muhammad, perjuangan Murad II dapat
dilanjutkan kenbali yang pada akhirnya Murad II kembali berjaya dan keadaan
menjadi normal kembali sampai akhir kekuasaan diserahkan kepada putranya
bernama Sultan Muhammad Al-Fatih.
Sultan Muhammad Al-Fatih (855-886 H/
1451-1481 M)
Setelah Sultan Murad II meninggal
dunia, pemerintahan kerajaan Turki Usmani dipimpin oleh putranya Muhammad II
atau Muhammad Al-Fatih. Ia diberi gelar Al-fatih karena dapat menaklukkan
Konstantinopel. Muhammad Al-Fatih berusaha membangkitkan kembali sejarah umat
Islam sampai dapat menaklukkan Konstantinopel sebagai ibukota Bizantium.
Konstantinopel adalah kota yang sangat penting dan belum pernah dikuasai
raja-raja Islam sebelumnya.
Seperti halnya raja-raja dinasti
Turki Usmani sebelumnya, Muhammad Al-Fatih dianggap sebagi pembuka pintu bagi
perubahan dan perkembangan Islam yang dipimpin Muhammad.Tiga alasan Muhammad
menaklukkan Konstantinopel, yaitu:
Dorongan iman kepada Allah SWT, dan
semangat perjuangan berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw untuk menyebarkan
ajaran Islam.
Kota Konstantinopel sebagai pusat
kemegahan bangsa Romawi.
Negrinya sangat indah dan letaknya
strategis untuk dijadikan pusat kerajaan atau perjuangan.
Usaha mula-mula umat Islam untuk
menguasai kota Konstantinopel dengan cara mendirikan benteng besar dipinggir
Bosporus yang berhadapan dengan benteng yang didirikan Bayazid. Benteng
Bosporus ini dikenal dengan nama Rumli Haisar (Benteng Rum).
Benteng yang didirikan umat Islam
pada zaman Muhammad Al-Fatih itu dijadikan sebagai pusat persediaan perang
untuk menyerang kota Konstantinopel. Setelah segala sesuatunya dianggap cukup,
dilakukan pengepungan selama 9 bulan. Akhirnya kota Konstantinopel jatuh ke
tangan umat Islam ( 29 Mei 1453 M) dan Kaitsar Bizantium tewas bersama tentara
Romawi Timur. Setelah memasuki Konstantinopel disana terdapat sebuah gereja Aya
Sofia yang kemudian dijadikan mesjid bagi umat Islam.
Setelah kota Konstantinopel dapat
ditaklukkan, akhirnya kota itupun dijadikan sebagai ibukota kerajaan Turki
Usmani dan namanya diganti menjadi Istanbul. Jatuhnya kota Konstantinopel ke
tangan umat Islam, berturut-turut pula diikuti oleh penguasaan Negara-negara
sekitarnya seperti Servia, Athena, Mora, Bosnia, dan Italia. Setelah
pemerintahan Sultan Muhammad, berturut-turut kerajaan Islam dipimpin oleh
beberapa Sultan, yaitu:
1. Sultan Bayazid II (1481-1512 M)
2. Sultan Salim I (918-926 H/
1512-1520 M)
3. Sultan Sulaiman (926-974 H/
1520-1566 M)
4. Sultan Salim II (974-1171 H/
1566-1573 M)
5. Sultan Murad III ( 1573-1596 M)
Setelah pemerintahan Sultan Murad III,
dilanjutkan oleh 20 orang Sultan Turki Usmani sampai berdirinya Republik Islam
Turki. Akan tetapi kekuasaan sultan-sultan tersebut tidak sebesar
kerajaan-kerajaan sultan-sultan sebelumnya. Para sultan itu lebih suka
bersenang-senang., sehingga melupakan kepentingan perjuangan umat Islam.
Akibatnya, dinasti turki Usmani dapat diserang oleh tentara Eropa, seperti
Inggris, Perancis, dan Rusia. Sehingga kekuasaan Turki Usmani semakin lemah dan
berkurang karena beberapa negri kekuasaannya memisahkan diri,diantaranya
adalah:
1. Rumania melepaskan diri dari
Turki Usmani pada bulan Maret 1877 M.
2. Inggris diizinkan menduduki
Siprus bulan April 1878 M.
3. Bezarabia, Karus, Ardhan, dan
Bathum dikuasai Rusia.
4. Katur kemudian menjadi daerah
kekeusaan Persia.
0 komentar:
Posting Komentar